Transformasi digital telah mengubah berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk dunia pendidikan. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia telah menetapkan bahwa literasi digital, termasuk coding dan kecerdasan artifisial (KA), merupakan bagian dari kebijakan strategis pendidikan untuk menyiapkan peserta didik menghadapi tantangan abad ke-21. Artikel ini membahas implementasi pembelajaran coding dan KA di jenjang SD, SMP, dan SMA berdasarkan kebijakan terbaru dalam Naskah Akademik Pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial (2025).
Coding dan KA sebagai Literasi Baru
Coding bukan sekadar menulis perintah komputer, tetapi bagian dari keterampilan berpikir komputasional yang melatih logika, algoritma, dan pemecahan masalah. Sementara KA adalah cabang teknologi yang memungkinkan komputer meniru kecerdasan manusia seperti pengenalan pola, pengambilan keputusan, dan pemrosesan bahasa alami. Integrasi keduanya penting untuk membentuk generasi yang adaptif, kreatif, dan kritis.
Dasar Kebijakan Nasional
Selaras dengan arah kebijakan baru pendidikan nasional, implementasi coding dan kecerdasan artifisial kini didasarkan pada kerangka regulasi dan visi pembangunan jangka panjang yang komprehensif serta menekankan kesiapan teknologi dan inovasi pendidikan, sebagaimana tercantum dalam:Permendikbudristek No. 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum yang bermakna dan kontekstual.
Undang-Undang No. 59 Tahun 2024 tentang RPJPN 2025–2045 yang menargetkan SDM unggul dan adaptif.
Rekomendasi dari Naskah Akademik Pembelajaran Koding dan KA (2025) yang menetapkan coding dan KA sebagai mata pelajaran pilihan di SD (kelas 5–6), SMP (kelas 7–9), dan SMA/SMK (kelas 10–12).
Implementasi di Jenjang SD
Di jenjang sekolah dasar (SD), implementasi pembelajaran coding dan kecerdasan artifisial (KA) dirancang dengan pendekatan yang menyenangkan, sederhana, dan sesuai dengan tahap perkembangan kognitif anak. Kegiatan yang dilakukan lebih menekankan pada pengenalan konsep-konsep dasar seperti urutan, logika, pola, dan sebab-akibat, tanpa harus menggunakan komputer secara langsung. Pendekatan ini dikenal sebagai pembelajaran unplugged, yang terbukti efektif sebagai tahap awal sebelum anak-anak masuk ke lingkungan digital yang lebih kompleks.
Beberapa sekolah dasar telah melakukan berbagai kegiatan kreatif yang mengintegrasikan prinsip-prinsip coding dan AI ke dalam proses belajar. Misalnya, siswa kelas 3–4 diajak bermain permainan kartu algoritma, di mana mereka diminta menyusun langkah-langkah aktivitas harian seperti “menyikat gigi” atau “membuat jus” dalam urutan yang logis. Ini membantu mereka memahami konsep algoritma secara konkret. Kegiatan semacam ini tidak hanya memperkenalkan dasar coding, tetapi juga melatih keterampilan berpikir sistematis dan memecahkan masalah.
Di kelas yang lebih tinggi, seperti kelas 5 dan 6, beberapa guru mulai menggunakan aplikasi visual seperti ScratchJr atau Lightbot. Dalam aplikasi ini, siswa menyusun perintah (blok kode) untuk menggerakkan karakter, membuat animasi sederhana, atau menyelesaikan tantangan visual. Kegiatan ini biasanya dilakukan sebagai bagian dari proyek tematik atau ekstrakurikuler. Sebagai contoh, siswa membuat animasi yang menjelaskan proses terjadinya hujan sebagai bentuk penguatan materi IPA, sekaligus melatih mereka dalam menyusun perintah logis dan memahami struktur perulangan (looping).
Secara umum, implementasi coding dan KA di SD didesain untuk tidak menekankan pada aspek teknis yang berat, tetapi lebih pada mengembangkan kemampuan berpikir komputasional, yaitu cara berpikir yang logis, terstruktur, dan efisien dalam menyelesaikan masalah. Kemampuan ini adalah fondasi penting yang akan sangat berguna bagi siswa, tidak hanya dalam pembelajaran teknologi, tetapi juga dalam matematika, sains, bahkan keterampilan hidup sehari-hari.
Rasional utama dari pendekatan ini adalah: anak-anak usia SD berada pada tahap konkret-operasional, sehingga mereka akan lebih mudah memahami konsep abstrak jika disajikan dalam bentuk aktivitas yang bisa mereka lihat, rasakan, atau gerakkan secara langsung. Dengan kata lain, mereka belajar lebih baik melalui bermain sambil berpikir, bukan sekadar menerima informasi. Maka, kegiatan coding dan KA yang bersifat kreatif dan kontekstual menjadi sarana ideal untuk melatih nalar dan imajinasi mereka sejak dini, tanpa tekanan atau kecemasan terhadap “kesalahan teknis”.
Contoh Praktik
Siswa kelas 5 mengenal konsep urutan perintah lewat permainan kartu algoritma untuk aktivitas sehari-hari, seperti “menyikat gigi”, “game gelas” atau “menanam pohon.”
Gambar1. Belajar logika dengan algoritma unplugged
Implementasi di Jenjang SMP
Di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), implementasi pembelajaran coding dan kecerdasan artifisial (KA) mulai mengarah pada pengembangan kemampuan berpikir logis, pemecahan masalah, dan eksplorasi teknologi digital secara lebih nyata. Siswa pada jenjang ini umumnya telah siap memahami struktur perintah, pengulangan (loop), kondisi IF-THEN, dan variabel dasar. Oleh karena itu, kegiatan coding dan KA di SMP dirancang untuk memperluas keterampilan komputasional mereka melalui pendekatan yang aplikatif dan kontekstual.
Banyak sekolah telah memulai kegiatan pembelajaran coding melalui penggunaan platform visual seperti Scratch, yang memungkinkan siswa menyusun blok kode untuk menciptakan game edukatif, simulasi, atau animasi interaktif. Misalnya, siswa kelas 8 diminta membuat game sederhana tentang rantai makanan dalam ekosistem. Dalam proses ini, mereka tidak hanya mengembangkan logika dan algoritma, tetapi juga mengintegrasikan pengetahuan biologi dan desain visual. Guru berperan sebagai fasilitator, membantu siswa memahami alur logika program serta mendorong mereka bekerja sama dalam tim kecil.
Selain itu, sejumlah sekolah telah memperkenalkan MIT App Inventor sebagai media pengembangan aplikasi sederhana. Salah satu proyek yang telah dilakukan adalah membuat aplikasi pengingat minum air putih harian yang dilengkapi dengan alarm dan notifikasi. Proyek ini menggabungkan keterampilan teknis (coding dan desain UI) dengan pembelajaran kontekstual di pelajaran IPA dan pendidikan kesehatan. Dengan proyek seperti ini, siswa belajar bahwa teknologi bukan hanya alat hiburan, tetapi juga solusi untuk kebutuhan sehari-hari.
Pengenalan KA di SMP dilakukan secara bertahap, dimulai dari konsep pengenalan pola dan klasifikasi data. Contohnya, siswa diminta mengamati dataset sederhana seperti daftar buah berdasarkan warna dan ukuran, kemudian menggunakan logika klasifikasi untuk menentukan kelompoknya. Kegiatan ini merupakan bentuk awal dari pembelajaran supervised learning pada AI, tetapi disajikan dengan cara yang dapat dipahami oleh siswa tanpa membahas rumus atau algoritma kompleks.
Rasional dari pendekatan ini adalah bahwa siswa SMP berada pada tahap perkembangan kognitif operasional formal awal, di mana mereka mulai mampu berpikir abstrak dan memahami hubungan sebab-akibat dalam sistem. Oleh karena itu, pembelajaran coding dan KA pada jenjang ini diarahkan untuk mengembangkan kemampuan berpikir sistemik, kerja tim, serta kreativitas dalam menyelesaikan tantangan nyata.
Selain memperkuat literasi digital, kegiatan-kegiatan ini juga menumbuhkan rasa percaya diri siswa dalam menciptakan karya teknologi mereka sendiri, sekaligus memupuk sikap tanggung jawab dan kemampuan refleksi. Yang terpenting, pendekatan ini menciptakan suasana belajar yang kolaboratif dan menyenangkan, membuat siswa merasa terlibat dan relevan dengan kehidupan mereka sehari-hari.
Strategi dan Praktik
Strategi pembelajaran coding dan kecerdasan artifisial (KA) di tingkat SMP difokuskan pada pengembangan keterampilan membuat program visual dan kemampuan menyelesaikan masalah secara kreatif. Untuk itu, pendekatan yang digunakan dirancang agar siswa dapat belajar secara aktif melalui pengalaman langsung dan penerapan teknologi dalam konteks kehidupan mereka sehari-hari.
Salah satu pendekatan utama adalah dengan menggunakan bahasa pemrograman visual seperti Scratch dan App Inventor. Kedua platform ini sangat cocok bagi siswa SMP karena bersifat intuitif, tidak memerlukan pengetikan kode secara manual, dan memungkinkan siswa membangun logika pemrograman melalui penyusunan blok-blok instruksi yang menyerupai puzzle. Dengan menggunakan alat ini, siswa dapat menciptakan animasi, game, atau aplikasi sederhana yang interaktif, sekaligus melatih pemikiran logis dan struktural mereka.
Untuk meningkatkan keterkaitan antara pembelajaran dan dunia nyata, kegiatan pembelajaran diintegrasikan dalam bentuk proyek berbasis kehidupan sehari-hari. Contohnya, siswa diminta membuat aplikasi pengatur jadwal belajar, kalkulator tugas harian, atau sistem pengingat minum air. Proyek semacam ini bukan hanya meningkatkan keterampilan teknis, tetapi juga membangun kesadaran bahwa teknologi dapat menjadi solusi praktis bagi masalah yang mereka hadapi setiap hari.
Lebih dari itu, pembelajaran coding dan KA di SMP juga didesain secara interdisipliner, dengan mengaitkan aktivitas pemrograman dengan mata pelajaran lain seperti IPA, Matematika, dan IPS. Dalam pelajaran IPA, misalnya, siswa dapat membuat simulasi tentang perubahan suhu dan cuaca. Dalam matematika, mereka dapat belajar konsep variabel, logika IF, dan perulangan (loop) melalui program interaktif. Sementara dalam IPS, siswa bisa merancang game edukatif tentang peta interaktif atau perjalanan sejarah.
Dengan pendekatan ini, pembelajaran coding dan KA di SMP menjadi lebih bermakna, kontekstual, dan menyenangkan — tidak hanya menumbuhkan minat terhadap teknologi, tetapi juga menumbuhkan rasa percaya diri siswa sebagai pembelajar aktif dan pemecah masalah yang kreatif.
Contoh Praktik
Siswa membuat game edukasi tentang daur air menggunakan Scratch. Guru membimbing logika IF-THEN, variabel, dan looping.
Gambar 2: Proyek coding siswa SMP menggunakan Scratch
Implementasi di Jenjang SMA
Pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA), pembelajaran coding dan kecerdasan artifisial (KA) mulai diarahkan pada penguasaan konsep-konsep yang lebih kompleks dan aplikatif. Siswa SMA berada pada tahap kognitif operasional formal yang matang, sehingga mereka telah mampu memahami abstraksi, berpikir logis, dan melakukan analisis mendalam terhadap masalah nyata. Oleh karena itu, implementasi coding dan KA di tingkat ini menekankan pada eksplorasi teknologi, pemecahan masalah dunia nyata, dan kesadaran etis terhadap penggunaan AI.
Berbagai kegiatan yang telah dilakukan di sejumlah SMA menunjukkan pendekatan yang lebih integratif dan kolaboratif. Salah satunya adalah pembuatan chatbot sederhana menggunakan bahasa pemrograman Python, yang dirancang untuk menjawab pertanyaan seputar materi pelajaran. Misalnya, siswa kelas 11 merancang chatbot sejarah Indonesia, yang dapat menjawab pertanyaan dasar berdasarkan data dari buku teks. Melalui kegiatan ini, siswa memahami prinsip dasar Natural Language Processing (NLP), struktur data, dan bagaimana AI bisa digunakan dalam konteks edukatif.
Di bidang sains, ada pula kegiatan pemanfaatan model klasifikasi AI sederhana untuk mengenali jenis daun atau spesies makhluk hidup berdasarkan ciri visualnya. Proyek ini mengintegrasikan materi biologi dengan logika pemrograman dan penggunaan dataset sederhana. Siswa belajar menggunakan alat seperti Teachable Machine dari Google untuk melatih model klasifikasi berdasarkan gambar yang mereka ambil sendiri. Hasilnya, mereka menyadari bahwa AI membutuhkan data berkualitas dan pemahaman konteks biologis agar hasilnya akurat.
Beberapa sekolah juga telah mengembangkan projek analisis sentimen dari teks, di mana siswa menganalisis tanggapan masyarakat terhadap isu lingkungan melalui data media sosial. Dengan menggunakan library Python seperti TextBlob atau Pandas, siswa belajar memproses data, mengenali pola emosi dalam kalimat, dan menarik kesimpulan. Aktivitas ini membina kemampuan literasi data sekaligus mengajak siswa berpikir kritis terhadap informasi digital.
Rasional dari implementasi ini adalah bahwa SMA merupakan jenjang krusial dalam menyiapkan generasi muda menghadapi dunia pendidikan tinggi dan dunia kerja yang berbasis teknologi. Pembelajaran coding dan KA tidak hanya mengajarkan teknis pemrograman, tetapi juga membentuk pola pikir analitis, kesadaran akan etika digital, dan kemampuan bekerja dalam tim lintas bidang.
Selain itu, melalui proyek-proyek ini, siswa tidak sekadar menjadi pengguna teknologi, tetapi juga berlatih menjadi pengembang solusi, yang mampu menghubungkan pengetahuan akademik dengan permasalahan riil di masyarakat. Dengan demikian, pembelajaran coding dan KA menjadi sangat relevan bagi pendidikan SMA sebagai bagian dari transformasi pendidikan yang adaptif dan visioner.
Strategi dan Praktik
Fokus pada eksplorasi AI dasar, seperti:Pemrograman berbasis teks (Python, JavaScript).
Eksperimen KA sederhana: chatbot, sistem klasifikasi, analisis sentimen.
Penguatan kesadaran etis terhadap AI: bias, privasi data, dan dampak sosial.
Contoh Praktik
Siswa mengembangkan chatbot dengan NLP sederhana untuk menjawab soal sejarah. Data pelatihan diambil dari buku pelajaran dan situs terpercaya.
Gambar 3: Siswa SMA menguji chatbot buatan mereka
Tantangan dan Solusi Implementasi Pembelajaran Coding dan Kecerdasan Artifisial di Sekolah
Meskipun pembelajaran coding dan kecerdasan artifisial (KA) memiliki potensi besar dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan kesiapan peserta didik menghadapi masa depan, penerapannya di lapangan masih menghadapi sejumlah tantangan yang cukup kompleks.
Salah satu tantangan utama adalah kesenjangan infrastruktur digital antar sekolah. Tidak semua satuan pendidikan memiliki akses yang memadai terhadap perangkat komputer, jaringan internet, maupun listrik yang stabil. Hal ini membuat beberapa sekolah, terutama di daerah terpencil atau 3T (terdepan, terluar, tertinggal), mengalami hambatan untuk mulai mengenalkan teknologi coding dan AI secara optimal.
Selain itu, kurangnya jumlah guru yang memiliki kompetensi di bidang teknologi, khususnya coding dan KA, menjadi persoalan yang sangat nyata. Banyak guru yang belum mendapatkan pelatihan yang memadai atau belum terbiasa dengan pendekatan pembelajaran berbasis teknologi. Hal ini menyebabkan ketimpangan dalam kualitas pengajaran antar sekolah.
Tantangan lainnya adalah variasi kesiapan antar daerah. Beberapa daerah sudah lebih maju dalam hal digitalisasi sekolah dan pembelajaran berbasis proyek, sementara yang lain masih berada pada tahap pengenalan dasar-dasar literasi digital. Ketimpangan ini perlu ditangani dengan pendekatan yang fleksibel dan tidak memaksakan satu standar yang sama untuk semua.
Namun demikian, berbagai solusi juga telah dirancang dan mulai diimplementasikan untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut.
Pertama, pemerintah dan lembaga pendidikan mulai menyelenggarakan program pelatihan dan sertifikasi guru secara daring melalui platform Learning Management System (LMS). Dengan pendekatan ini, guru dari berbagai daerah dapat mengikuti pelatihan secara fleksibel, tanpa harus datang ke kota besar.
Kedua, implementasi coding dan KA dilakukan secara bertahap dan disesuaikan dengan tingkat kesiapan masing-masing sekolah. Artinya, sekolah yang baru mulai dapat menggunakan metode sederhana atau pendekatan “unplugged” (tanpa perangkat), sementara sekolah yang sudah siap bisa langsung menggunakan aplikasi dan platform pemrograman digital.
Ketiga, solusi jangka panjang juga memerlukan kerja sama dari berbagai pihak, bukan hanya pemerintah. Dunia industri, komunitas teknologi, perguruan tinggi, serta organisasi masyarakat sipil didorong untuk ikut terlibat dalam pengembangan kurikulum, penyediaan pelatihan, dan pemberian bantuan fasilitas. Kolaborasi lintas sektor inilah yang akan mempercepat pemerataan kualitas pembelajaran coding dan AI di seluruh Indonesia.
Dampak Positif Implementasi Coding dan Kecerdasan Artifisial terhadap Pembelajaran
Penerapan pembelajaran coding dan kecerdasan artifisial (KA) di sekolah memberikan dampak yang sangat positif terhadap proses dan hasil belajar peserta didik. Salah satu dampak paling nyata adalah peningkatan literasi digital siswa secara menyeluruh. Dengan mengenalkan konsep pemrograman dan prinsip dasar KA sejak dini, siswa tidak hanya menjadi pengguna teknologi pasif, tetapi juga belajar bagaimana teknologi bekerja dan bagaimana mereka bisa menciptakan solusi berbasis digital. Ini memberikan bekal penting agar mereka mampu beradaptasi dalam dunia yang semakin terdigitalisasi.
Selain itu, pembelajaran coding dan KA juga mendorong tumbuhnya karakter-karakter penting dalam diri siswa yang sangat dibutuhkan di abad ke-21. Di antaranya adalah sikap adaptif, karena dalam dunia pemrograman, siswa akan sering menghadapi masalah yang belum mereka temui sebelumnya, dan mereka harus mampu mencari solusi baru. Kreativitas pun terasah karena siswa diberi ruang untuk merancang proyek, animasi, atau aplikasi sederhana yang berasal dari ide mereka sendiri. Tidak kalah penting, pembelajaran ini mengembangkan kemampuan kolaborasi, terutama saat mereka bekerja dalam tim untuk menyusun algoritma, mendiskusikan logika program, atau menyusun strategi penyelesaian masalah.
Lebih jauh, integrasi coding dan KA dalam pembelajaran juga berarti mempersiapkan siswa untuk menghadapi tantangan ekonomi dan teknologi masa depan. Di tengah arus revolusi industri 4.0 dan transisi menuju masyarakat 5.0, keterampilan seperti pemikiran komputasional, pemahaman tentang data, serta kemampuan menggunakan teknologi secara etis dan produktif menjadi sangat esensial. Dengan membekali siswa sejak di bangku sekolah, kita bukan hanya menciptakan lulusan yang melek teknologi, tetapi juga calon inovator yang mampu membawa perubahan di masyarakatnya masing-masing. Pembelajaran coding dan KA berdampak positif dalam meningkatkan literasi digital dan keterampilan abad 21, menguatkan karakter adaptif, kreatif, dan kolaboratif dan membekali siswa menghadapi transformasi teknologi dan ekonomi.
Penutup
Integrasi coding dan KA dalam pendidikan tidak lagi bersifat opsional. Dengan kebijakan baru yang menempatkan mata pelajaran ini sebagai bagian dari kurikulum nasional secara fleksibel dan bertahap, sekolah memiliki dasar kuat untuk mulai menerapkannya. Pendekatan kontekstual, kolaboratif, dan etis adalah kunci agar siswa tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga inovator masa depan.
Bibliografi
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2025). Naskah Akademik Pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial. Jakarta: Kemendikbudristek.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2024). Permendikbudristek No. 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum yang Bermakna dan Kontekstual.
Republik Indonesia. (2024). Undang-Undang No. 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025–2045. Jakarta: Sekretariat Negara.
Brennan, K., & Resnick, M. (2012). New frameworks for studying and assessing the development of computational thinking. Proceedings of the 2012 annual meeting of the American Educational Research Association, Vancouver, Canada.
Wing, J. M. (2006). Computational thinking. Communications of the ACM, 49(3), 33–35.